Hukum Tentang Kotoran Hewan dan Sembelihan
Hukum Tentang Kotoran Hewan dan Sembelihan
Dalam syariat dikenal ada tiga macam istilah, yaitu: najis, mutanajjis, dan thahir (suci). Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menerangkan, “Najis adalah semua benda yang haram dimakan. Mutanajjis adalah benda suci yang terkena najis sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci.”
Untuk menjelaskan kotoran hewan apa saja yang najis dan tidak najis, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah menfatwakan, “Adapun kencing dan kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, sebagian besar salaf berpendapat bahwa ia tidaklah najis. Yang berpendapat ia najis tidak memiliki dalil sayr’i.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 21/613)
Untuk menambah wawasan, kami ketengahkan kaidah penting yang dipaparkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin, beliau berkata, “Semua yang najis adalah haram tetapi tidak semua yang haram itu najis. Misalnya sutra bagi laki-laki, harta hasil rampasan, racun, semuanya haram tetapi tidak najis.”
Untuk mengetahui tolok ukur menjijikan, mari kita simak ulasan Syekh Shalih Al-Fauzan, “Yang kotor atau menjijikan makanan ada dua macam. Pertama, segala sesuatu yang dianggap kotor karena makna yang melekat padanya, seperti darah, bangkai, dan daging babi. Kedua, segala sesuatu yang dianggap jelek karena cara mendapatkannya salah, misalnya diperoleh dengan cara zhalim atau dengan akad yang haram seperti riba dan judi.
Tidak diragukan bahwa semua makanan yang Allah halalkan merupakan seseuatu yang thayyib (baik) dan bermanfaat bagi badan dan agama, sedangkan semua yang Allah Ta’ala haramkan atau terdapat nash (dalil) tentang jeleknya maka ia merupakan sesuatu yang kotor atau jelek bagi badan dan agama.
Akan tetapi, tersisa permasalahan dengan hal-hal yang tidak ada dalil tentang kehalalan maupun keharaman dan kejelekannya. Dalam hal ini ada dua pendapat yang berbeda dari para ulama.
Pendapat pertama, hal itu dikembalikan kepada anggapan orang Arab. Artinya, semua yang dianggap jelek oleh tabiat yang bersih dari bangsa Arab –tempat Alquran diturunkan–, selain dalam keadaan darurat kelaparan merupakan sesuatu yang haram.
Pendapat kedua, (Mazhab Imam Malik) bahwa semua yang baik itu dihalalkan. Berdasarkan pendapat ini tidak ada pengaruh dari anggapan manusia (bahwa itu adalah jelek) dalam pengharamannya. Yang menjadi tolok ukur adalah adanya dalil yang menerangkan keharamannya. Jika tidak ada dalil yang mengharamkannya maka ia adalah halal. Kami melihat Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat ini…. Beliau mengatakan di tempat yang lain, ‘Tidak ada pengaruh dalam anggapan jelek/menjijikan bagi orang Arab. Selama tidak diharamkan oleh syariat, tetap halal. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan sahabatnya yang terdahulu. Beliau dengan pendapat ini melihat bahwa penghalalan mengikuti kebaikan dan kemaslahatan sedangkan pengharaman mengikuti kejelekan dan kemadharatan yang terdapat pada zat sesuatu, bukan pada anggapan manusia. Ini adalah pendapat yang kuat, kalau Anda cermati.'” (Al-Ath’imah wa Ahkamush Shaid wadz Dzabah, hlm. 76–80)
Berikut ini ketetapan Majma al-Fiqhi al-Islami yang bermarkas di Jeddah (Arab Saudi) pada Shafar 1418 H, secara ringkas:
“Penyembelihan yang syar’i akan sempurna dengan beberapa cara:
Pertama, adz-dzabh, yaitu dengan memotong kerongkongan (saluran pernapasan), tenggorokan (saluran makanan di bawah kerongkongan), dan dua urat di sisi leher yang meliputi kerongkongan. Ini adalah metode yang terbaik secara syar’i untuk menyembelih kambing, sapi, burung, dan boleh juga untuk yang lainnya.
Kedua, an-nahr, yaitu menikam lubang bagian bawah leher (tempat kalung). Cara ini adalah untuk membelih unta dan semisalnya serta boleh juga untuk sapi.
Ketiga, al-aqr, yaitu melukai bagian mana saja dari hewan-hewan yang tidak mampu untuk disembelih, baik itu hewan liar yang boleh diburu atau hewan jinak yang berubah menjadi liar. Jika yang berburu mendapatinya masih hidup maka wajib untuk menyembelihnya.”
Kemudian, ketetapan mereka yang lain, “Tidak cukup bagi yang menyembelih menggunakan suara rekaman untuk membaca ‘bismillah.”
Hewan yang disembelih secara syar’i, setelah proses penjinakan (dengan arus listrik), halal dimakan setelah diyakini tidak mati sebelum disembelih, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ahlinya di masa ini.
Tidak mengapa menyembelih hewan yang jinak dengan alat-alat mekanik bersama dengan terpenuhinya syarat-syarat penyembelihan dan cukup membaca ‘bismillah’ sebanyak satu kali untuk semua hewan sembelihan. (Fiqhun Nawazil, 4/253-256)
Pertanyaan senada pernah disampaikan kepada lajnah Daimah tetapi dengan teks sebagai berikut, “Bolehkah seseorang menjual hewan yang sudah mati kepada oarng lain dan meminta bayarannya?”
Jawabannya, “Bangkai adalah sesuatu yang haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai….’ (QS. Al-Maidah: 3)
Jika ia haram, maka tidak boleh menjual maupun membelinya dan harga (hasil perdagangannya) haram.” (Lihat Fatawa Lajnah Daimah, 13/70).
Syekh Muqbil bin Hadi menjawab, “Mayoritas ulama mengatakan sembelihan itu boleh dimakan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa jika tidak membaca nama Allah, walaupun disengaja, maka sembelihan tersebut tetap halal. Sebagian lagi berpendapat bahwa jika ia lupa maka sembelihannya halal, tetapi jika sengaja maka tidak halal. Yang paling kuat adalah bahwa jika ia tidak membaca nama Allah dengan sengaja atau lupa maka sembelihannya jangan dimakan, karena Allah mengatakan dalam kitab-Nya yang mulia,
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ
‘Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya….’ (QS. Al-An’am: 121)
Tersisa dalil bagi mereka yang membolehkan berdasarkan hadits Aisyah dalam Shahih Bukhari bahwasanya sekelompok orang datang dengan membawa daging sedangkan mereka baru masuk Islam dan kami tidak mengetahui apakah mereka membaca nama Allah atau tidak, Nabi mengatakan, ‘Bacalah ‘bismillah’ dan makanlah.’
Dengan demikian, kami katakan jika yang menyembelih itu seorang muslim dan dihadiahkan kepadamu sedangkan engkau tidak mengetahui ia membaca nama Allah atau tidak, maka asal dari seorang muslim adalah membaca bismillah (sembelihannya halal). Namun jika engkau yakin bahwa ia tidak membaca bismillah maka pendapat yang kuat adalah engkau meninggalkannya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Wallahul musta’an.” (Lihat Ijabatus Sail, hal. 668).
Sumber: Majalah Mawaddah, Edisi 12, Tahun Ke-1, Jumadits Tsaniyah, Rajab 1429 H/Juli 2008.
www.konsultasisyariah.com