Tuhan Itu Esa, Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan
Tuhan Itu Esa, Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan
TAFSIR SURAT AL-IKHLAS
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah, “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa.
Allâh adalah Rabb Ash-Shamad.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
KEUTAMAAN SURAT AL-IKHLAS
Surat Al-Ikhlas memiliki banyak keutamaan, antara lain:
Surat ini berisikan sifat Allâh Azza wa Jalla, orang yang mencintainya dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan ”Qul huwallaahu ahad”. Ketika mereka telah kembali, mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau berkata: “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allâh Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allâh mencintainya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813]
Sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Dari Abud Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân.” [HR. Muslim, no. 811]
Maknanya adalah bahwa kandungan al-Qur’ân ada tiga bagian :
1) hukum-hukum, 2) janji dan ancaman, 3) nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Dan surat ini semuanya berisi tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . [Majmu’ Fatawa 17/103]
SEBAB TURUN SURAT AL-IKHLAS
Sebab turun surat al-Ikhlâs ini adalah pertanyaan orang-orang kafir tentang Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana disebutkan di dalam hadits :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ
Dari Ubayy bin Ka’ab Radhiyallahu anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh menurunkan: (Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa). [HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad, no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani]
Hadits ini menunjukkan bahwa surat al-Ikhlâs termasuk surat Makiyyah, dan nampaknya termasuk surat yang awal turun di kota Makkah.
ARTI AYAT DAN TAFSIRNYA
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa”.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni: Dia Yang pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini tidak digunakan untuk menetapkan pada siapapun selain pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena Dia Maha Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsir]
Para Ulama penyusun Tafsir al-Muyassar berkata, “Katakanlah wahai Rasul, ‘Dia-lah Allâh Yang Esa dengan ulûhiyah (hak diibadahi), rubûbiyah (mengatur seluruh makhluk), asma’ was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam perkara-perkara itu”. [Tafsir al-Muyassar, 11/96]
اللَّهُ الصَّمَدُ
Allâh adalah ash-Shamad.
Ash-Shamad adalah satu nama di antara Asmaul Husna yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla . Penjelasan para Ulama Salaf tentang makna ash-Shamad berbeda-beda, tetapi semua perbedaan itu bisa diterima, karena maknanya tidak kontradiksi, bahkan saling melengkapi. Oleh karena itu semua arti itu dapat ditetapkan pada diri Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Inilah keterangan para Ulama tentang makna ash-Shamad:
(Rabb) yang segala sesuatu menghadap kepada-Nya dalam memenuhi semua kebutuhan dan permintaan mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah.
As-Sayyid (Penguasa) yang kekuasaan-Nya sempurna; as-Syarîf (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna; al-‘Azhîm (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna; al-Halîm (Maha Sabar) yang kesabaran-Nya sempurna; al-‘Alîm (Mengetahui) yang ilmu-Nya sempurna; al-Hakîm (Yang Bijaksana) yang kebijaksanaan-Nya sempurna. Dia adalah Yang Maha Sempurna dalam seluruh sifat kemuliaan dan kekuasaan, dan Dia adalah Allâh Yang Maha Suci. Sifat-Nya ini tidak layak kecuali bagiNya, tidak ada bagi-Nya tandingan dan tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Maha Suci Allâh Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Ini pendapat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalhah Radhiyallahu anhu.
Yang Maha Kekal setelah semua makhluk-Nya binasa. Ini pendapat al-Hasan dan Qatâ
Al-Hayyu al-Qayyûm (Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain), yang tidak akan binasa. Ini pendapat al-Hasan.
Tidak ada sesuatupun yang keluar dari-Nya dan Dia tidak makan. Ini pendapat ‘Ikrimah.
Ash-Shamad adalah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini pendapat ar-Rabi’ bin Anas.
Yang tidak berongga. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, ‘Athiyah al-‘Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi.
Yang tidak memakan makanan dan tidak minum minuman. Ini pendapat asy-Sya’bi.
Cahaya yang bersinar. Ini pendapat Abdullah bin Buraidah
Imam Thabarani rahimahullah berkata, “Semua makna ini benar, dan ini semua merupakan sifat Penguasa kita ‘Azza wa Jalla. Dia adalah tempat menghadap di dalam memenuhi semua kebutuhan, Dia adalah yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia adalah ash-Shamad, yang tidak berongga, dia tidak makan dan tidak minum, Dia adalah Yang Maha Kekal setelah makhlukNya (binasa)“.
Dan imam al-Baihaqi juga berkata seperti ini. [Lihat semua keterangan di atas di dalam Tafsir Ibnu Katsir surat al-Ikhlas]
Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah menyebutkan lima makna ash-Shamad, lalu berkata, “Perselisihan ini termasuk ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan jenis) dalam ungkapan, bukan perselisihan dalam makna. Karena semua pendapat ini kembali kepada satu makna, yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya. Dan janganlah merisaukanmu pengingkaran sebagian khalaf terhadap sebagian makna-makna yang diriwayatkan dari Salaf ini, demikian juga anggapan mereka (khalaf) bahwa perkataan-perkataan Salaf ini tidak didukung oleh lughah (bahasa Arab). Karena itu adalah perkataan orang yang tidak memahami (kedudukan-pen) tafsir Salaf, dan dia tidak mengambil faedah ketetapan makna-makna lafazh lughah (bahasa Arab) dari tafsir salaf, Wallahu a’lam.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/201, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Yaitu: (Allah) ini Yang berhak diibadahi, Dia tidak dilahirkan sehingga akan binasa. Dia juga bukan suatu yang baru yang didahului oleh tidak ada lalu menjadi ada. Bahkan Dia adalah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelum-Nya, dan al-Âkhir yang tidak ada sesuatupun setelah-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyaar]
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya dalam seluruh sifat-sifat-Nya”. [Syarh Aqîdah Wasitiyah, hlm. 114, penerbit. Dar Ibnu Haitsam]
Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Dan tidak ada tandingan yang menyamai-Nya dalam nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]
BANTAHAN ANGGAPAN “ALLAH MEMILIKI ANAK”
Banyak sekali bantahan Allâh Azza wa Jalla di dalam kitab suci-Nya terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa Allâh memiliki anak, antara lain firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.[Al-An’am/6: 101]
Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah pemilik dan pencipta segala sesuatu, maka bagaimana mungkin ada di antara makhluk-Nya yang menandingi-Nya. Allâh Maha Tinggi dan Maha Suci dari anggapan mereka itu.
Sesungguhnya beranggapan bahwa Allâh memiliki anak merupakan celaan manusia kepada Allâh Yang Maha Kuasa, padahal mereka sangat tidak pantas mencela-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ إِنِّي لَنْ أُعِيدَهُ كَمَا بَدَأْتُهُ وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا وَأَنَا الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُؤًا أَحَدٌ
Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia juga mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Adapun pendustaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah memulai penciptaannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak, padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganKu.” [HR. Bukhori, no. 4975]
Karena besarnya dosa keyakinan Allâh Azza wa Jalla memiliki anak, maka hampir-hampir dunia ini hancur karenanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا
Dan mereka berkata, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak. [Maryam/19: 88-91]
Namun walaupun demikian besar dosa manusia itu, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Sabar. Bahkan Dia tetap memberikan rizqi dan kesehatan sementara di dunia ini kepada orang-orang yang sangat lancang tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ أَحَدٌ أَوْ لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنْ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
Tidak ada seorangpun yang lebih sabar daripada Allâh terhadap gangguan yang dia dengarkan. Sebagian manusia menganggap Allâh memiliki anak, namun Dia tetap memberikan keselamatan/kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka. [HR. Al-Bukhâri, no. 6099; Muslim, no. 2804]
KANDUNGAN SURAT AL-IKHLAS
Surat ini memuat berbagai kandungan dan faedah yang agung, antara lain:
Penetapan sifat ahadiyyah (keesaan) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Penetapan sifat shamadiyyah bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya
Mengenal Allâh dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya[1].
Penetapan tauhid dan kenabian.
Kedustaan orang yang menganggap Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki anak.
Kewajiban beribadah kepda Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, karena hanya Dia yang memiliki hak untuk diibadahi.[2]
Inilah sedikit penjelasan tentang surat yang mulia ini, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi
[2] Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi
Sumber almanhaj.or.id